THE MAN WHO'S WORTH MY INK

The painter and the pianist, Lionello Balestrieri (1872)



Banyak yang terjadi begitu aku menjadi 20.

Krisis ekonomi. 
Bom yang menyala-nyala dilangit. 
Atmosfer kita lagi-lagi akan direpotkan oleh emisi yang tak berarti.

Dibagian dunia lain, lautan manusia berjalan kaki menuju Rafah. Pasti banyak rasa sesak dan marah dihati mereka, sampai kaki-kaki mereka tak merasa lelah.

Disini, banjir sudah mencapai leher orang dewasa. 
Orang yang sama masih sibuk membuat drainase.
Orang yang sama masih sibuk memberi izin korporasi untuk menggunduli sisa-sisa hutan yang ada.

Banyak ya yang bisa terjadi.

Lembar dan tintaku banyak kuhabiskan untuk mencatat kejadian-kejadian itu.

Beberapa lembar lainnya kupakai untuk menuliskan resep makanan, kiat-kiat merawat tanaman, dan banyak kalimat pelipur lara.

Disela-sela lembar itu ada beberapa yang soal kamu.
Aneh, lebih setengah tahun sudah tintaku tak kupakai untuk menulis laki-laki.

Akhir-akhir ini aku mendengarkan banyak lagu baru. Sudah tidak lagi mengulang-ulang Radiohead dan Taylor Swift.

Aku baru paham kenapa banyak orang menangis karena "Gala Bunga Matahari". 
Lagu-lagu Ardhito juga terasa semakin manis malam ini. Sudah kuulang sekitar 10 kali sejak kemarin malam. Malam yang sama saat Iran meledakkan banyak bom.

Kamu mungkin belum banyak tau.
Aku tak akan menggugah selfie untuk menarik perhatianmu.
Aku juga tak punya Tiktok, tak ada postingan ulang yang akan aku repost disana. 
Tak ada kode yang bisa kamu dapatkan disana.
Kecuali disetiap kontak mata kita yang selalu kuhindari.

Kamu mungkin belum banyak tau.
Caraku berinteraksi denganmu, sama seperti caraku berinteraksi dengan laki-laki lain (kaku—berlagak profesional). 
Bedanya, mereka tak akan pernah kutulis dengan tintaku.
Mereka juga tak akan pernah jadi alasan mimpiku tentang cahaya langit yang meledak-ledak itu berkurang, karena sekarang harus kubagi porsinya untuk mimpiku yang baru; ada dipelukmu.











Komentar

Postingan Populer