Sesuai dengan janjiku diblog kemaren, hari ini aku bakalan ceritain salah satu hari terseru dikehidupan aykomers. Hari Rabu mungkin menyebalkan untuk beberapa anak kelas. Dari matahari terbit sampai terbenam kita berkegiatan di Kampus. Tapi aku sendiri suka banget sama hari Rabu. Mata Kuliah favoritku, semiotika, kelas terakhir dihari ini. Terus, biasanya setiap Rabu sore aku dan teman-temanku suka makan bareng. Biasanya kami ke Pisang Gapit atau nongkrong sambil makan gorengan.
30/4/2025
Kelas pertama hari ini Retorika dan Public Speaking (RPS). Pagi ini cuacanya mendung di Loa Bakung, katanya di Kota sudah hujan deras. Bu Silvi bilang kalau jam 07.30 WITA masih hujan, kita bakalan kuliah online.
"Kayaknya bakalan hujan deras banget deh hari ini" kataku sambil narik selimut lagi.
Jam 07.30 ternyata hujannya berhenti. Tiba-tiba langit jadi terang benderang dan kelas gajadi online.
30 menit lagi udah kelas dan aku masih belum apa-apa. Aku buru-buru mandi sambil ketakutan.
Sebenarnya, menurutku pribadi, lebih baik gausah masuk sama sekali daripada terlambat dikelas Bu Silvi. Soalnya Bu Silvi suka menghukum kami. Bu Silvi ngehukum kami dengan minta kami storytelling kegiatan kami dari malam sampai pagi sambil nyari apa penyebab keterlambatan pagi ini.
Ga cukup sampai disitu, Bu Silvi bahkan ngerekam dan posting muka kami di Instagram pribadinya. Bahkannnn ada sorotan khusus untuk orang-orang yang terlambat. Menyeramkan bukan?
Tapi mau gimana lagi, jatah liburku sudah habis. Kalau aku ga maksa masuk hari ini, aku gabakal bisa ikut ulangan.
Berangkat di Jam 08.00 —kelas seharusnya sudah mulai dijam ini— Aku coba untuk tetap tenang dan ga ngebut. Setelah sampai di FISIPOL, aku buru-buru parkir sambil ditakutin sama abang satpam "Hayuu kamu... SETENGAH SEMBILAN" dengan mimik wajah yang mengolok itu. Ada Rosiana yang telat juga, tapi aduh... Ga ada solid-solidan kalau udah mendesak begini, Aku langsung lari ke kelas.
Ternyata Bu Silvi belum datang.
Ga lama setelah itu, Bu Silvi masuk kelas. Sekarang giliran kami yang menghukum Bu Silvi.
Kami minta Bu Silvi untuk menceritakan kegiatannya dipagi hari ini. Putusan apakah kami akan menoleransi keterlambatan beliau atau tidak akan dilakukan setelah kami dengar apa alasan dibalik keterlambatannya.
Bu Silvi mulai dengan cerita yang super relateable. Dia bilang ada banyak yang harus dia kerjain dan saking bingungnya dia akhirnya ngepel lantai dan nyikat WC. Sama kayak aku waktu banyak tugas yang deadlinenya deketan. Bukannya dikerjain, aku malah bersihin kipas angin.
Bu Silvi juga bilang kalau keterlambatannya hari ini juga akibat dari tingkah kucing-kucingnya. Jadi Bu Silvi punya kucing (dari yang kutangkap jumlahnya lebih dari 1) terus kucing-kucing ini makanannya beda. Ada yang dry food aja, ada yang wet food aja, dan ada yang dicampur. Intinya ribetlah.
Lalu, ada salah satu kucing yang marah karena makanannya ga pakai mangkok biasanya (gatau deh maksudnya apa). Karena marah, kucing itu ngeberantakin mangkok bahkan box pasirnya. Bu Silvi jadi harus nyapu dan ngepel ulang rumahnya. Ga cuma itu, Bu Silvi yang sudah siap ngajar harus ganti baju karena ketempelan banyak bulu waktu misahin perkelahian kucing-kucingnya.
Sebagai sesama cat lovers, aku sih bisa menoleransi keterlambatan beliau (kami juga ga ada pilihan lain sih, yakali menghukum Bu Silvi.)
Seperti diminggu-minggu sebelumnya, kelas Bu Silvi selalu geger. Gemuruh riuh pokoknya.
Bu Silvi akhirnya mulai ngejelasin materi soal kendala-kendala public speaking. Aku dan Wawa asik ngetawain PPT Bu Silvi yang nyeleneh. Mulai dari grafis Nobita yang bergerak kaget, sampai susunan textnya yang kayak tulisan Arab (dari kanan ke kiri). Kami berdua yakin PPT itu terjadi bukan karena Bu Silvi ga ngerti estetika atau prinsip dasar desain. Tapi karena beliau memang mau begitu.
Sebenarnya matkul RPS ini jadi salah satu matkul yang aku remehkan diawal perkuliahan. Aku mikirnya Public Speaking itu cuma soal nahan malu sebentar dan ngomong. Lagian udah banyak kok tips-tips yang berseliweran di media sosial. Tapi ternyata aku salah gais. Banyak banget yang aku pelajari dikelas ini. Mulai dari analisis pidato (ethos, pathos, logos) bareng Bu Rina —yang buat aku jadi lebih aware dengan subtansi suatu topik— sampai kendala-kendala public speaking yang diajarin sama Bu Silvi.
Bu Silvi minta salah satu dari kita untuk berbicara. Apa aja deh yang penting ngomong. Seperti biasa, Riyan jadi tumbalnya. Riyan akhirnya bercerita.
Sebagai audiens aku ngeliat Riyan sudah oke banget public speakingnya. Tapi Bu Silvi bilang, Riyan terlalu fokus mikirin mau ngomong apa sampai dia ga mikirin gesturenya yang miring-miring.
Bener... Riyan tadi pas ngomong badannya miring banget kayak menara Pisa.
Lalu, Bu Silvi menjelaskan ada banyak alasan kenapa orang bisa gugup waktu disuruh berbicara didepan umum. Salah satunya trauma. Ada sekitar 6 orang yang angkat tangan waktu ditanya "Siapa yang takut ngomong karena trauma?" Bu Silvi milih Enjel untuk diinterogasi soal traumanya itu.
Enjel takut ngomong didepan umum karena dia pernah ngerasa diremehkan.
Kami (teman-teman Enjel) tau persis cerita itu. Yah setelah kejadian itu, Enjel jadi manut-manut aja waktu ngerjain project kelompok. Bahkan dia selalu nolak untuk ngelead project besar karena ga PD.
Kami, temen-temennya selalu coba untuk menyemangati Enjel dengan bilang kalau dia punya potensi dan pasti mampu kok. Tapi, Enjel selalu kalah sama rasa takutnya. HUFT...
Di musim-musim UTS atau UAS, sewaktu-waktu kami harus berpisah kelompok. Kami selalu kasih wejangan ke Enjel, untuk kasih fakyu kalo diremehin atau ga didenger. Untungnya, semester ini dosen-dosen ga sering memisahkan kita.
Bu Silvi akhirnya ngasih wejangan untuk Enjel, aku juga lupa pastinya. Intinya Enjel harus belajar untuk sembuh.
Setelah kelas ini aku jadi sadar kalau title Silvi_Dosen_Keren itu bukan self-claim.
Setelah kelas RPS selesai, kami langsung lanjut kelas Kewirausahaan.
Gatau kenapa, dikelas ini aku selalu ngantuk. Bukan karena dosennya ya... Mungkin aku memang gaterlalu suka dengan topik-topik soal kewirausahaan. Dan mungkin temen-temenku yang lain juga sama. Mereka selalu sibuk sendiri. Lala main mobile legend disebelahku, yang lain pada scroll TikTok.
Aku... sama aja sih. Aku sama Dwi scroll Twitter dan kami ngetawain tas sekolah adik ini yang penuh dengan pin-pin nyeleneh. "Kayaknya dia mau beli pin yang gambarnya Windah, tapi karena jualannya bundle, akhirnya dia dapat tuh pin SHIBAL SEKKIYA " kataku ke Dwi. Terus kami cekikian.
Tapi ga lama habis itu, kami coba untuk perhatiin Pak Dony. Walaupun kami ga minat dengan kewirausahaan, kami respect dengan Pak Dony. Kami suka ngerasa bersalah kalau terlalu asik dengan HP waktu bapaknya menjelaskan. Aku bahkan selalu salim setiap kelasnya selesai (saking ngerasa bersalahnya).
Waktu asik memperhatikan Pak Dony, Dwi tiba-tiba bercerita. Dia akhir-akhir ini nonton drakor yang judulnya Heavenly Ever After. "Itu tuh dell, ceritanya tentang kehidupan di surga. Terus dia ketemu almarhumah kucingnya, tapi kucingnya itu dalam wujud manusia gitu dell." cerita Dwi (seingatku).
Mulut kami memang bercerita, tapi mata kami tetap fokus memperhatikan Pak Donny didepan.
Dwi lanjut bercerita, dia bilang dia sedih. Dia keingat kucingnya di Penajam.
Dwi baru melihara kucing sekitar 6 bulan yang lalu, seingatku waktu awal kenal Dwi, dia gaterlalu suka kucing. Entah gimana ceritanya dia bisa melihara kucing.
Dwi bilang dia sedih banget karena kucingnya bakalan dibuang karena ga ada yang ngurusin. Umminya Dwi udah capek ngurusin adik-adiknya Dwi, masa harus ngurus kucing lagi? Kami berdua paham betul secapek apa ibu rumah tangga seperti Ummi.
"Dia (kucing Dwi) yah dell, kalo aku lagi dikamar nih ya, dia suka naik-naik kekasur, aku selalu kaget kalo ada dia. Terus dia kaget juga ngeliat aku kaget" cerita Dwi.
Waktu aku noleh ke Dwi, DAMN.... dia sudah berlinang air mata.
Aku ketawa banget ngeliat dia nangis. 2 tahun pertemanan kami, belum pernah aku ngeliat dia nangis (karena sedih). Aku cuma pernah liat dia nangis waktu nonton drama Indonesia. Itupun aku yakin dia nangis bukan karena dia relate, tapi karena AC di bioskop terlalu dingin dan bikin matanya kering. Dwi... ga nyangka aku harus ngeliat kamu nangis dengan alasan ini. HAHAHAHA. Strong girl satu ini ternyata juga seemosional aku ketika berhadapan dengan kucing.
Selesai kelas Kewirausahaan, kami cepet-cepet keluar karena ini udah jam makan siang. Lapar banget.
Waktu keluar, dari jauh aku ngeliat Rei dan Nurdin. Nurdin dengan mukanya yang kasian itu narik-narik Rei, tapi Rei gamau gerak.
Ternyata Rei lagi ospek Nurdin gais. Rei gamau pergi makan kalau Nurdin ga ngomong dengan nada maskulin.
"Ayo makan Rei..." kata Nurdin dengan suara normalnya.
"Coba nah yang betul" kata Rei.
"AYOK MAKAN" kata Rei dengan posisi siap memperagakan cara mengajak cewe makan dengan maskulin.
WKWKWKWKWKW.
Nurdin akhir-akhir ini diolokin boti gais, dan kata-kata lain yang gabisa kusebutkan. Rei sebagai teman yang baik, nyoba untuk ngelatih Nurdin biar bisa diterima dimasyarakat.
Dua kali, tiga kali. Nurdin tetap ga lulus ujiannya Rei. Nurdin udah lapar banget.
"GABISA REI, SUARAKU MEMANG BEGINI" kata Nurdin. Terus Nurdin ada mention-mention sesuatu soal hormon testosteron yang buat suaranya begitu.
WKWKWKW.
Dari kasus Enjel sampai kasusnya Nurdin, orang-orang harus tau kalau perkataan dan perbuatan mereka bisa berdampak sebesar ini untuk orang lain. Shibal sekkiya!!!
Aku dan Sasa ke Nibung untuk makan siang. Disana kami mau sekalian ngerjain metopen.
Haduh metopen ini buat kami pusing banget. Kami bahkan harus pesen soda gembira biar kuat ngejalani hari ini.
 |
proses pembuktian kalau soda gembira beneran bisa bikin gembira. |
Jam 15.00, kami masuk kelas terakhir kami yaitu Semiotika. Kelas ini juga ga kalah seru. Aku gabakal ceritain disini deh karena bakalan panjang. Kapan-kapan aku ceritain ya seseru apa kelas Semiotika dan gimana setiap kelasnya selalu berkesan. Bye!
Komentar
Posting Komentar